Kurma di Ladang Salju, Esai-esai Ali Romdloni tentang Perjalanannya di China
Daftar Isi
Judul : Kurma di Ladang Salju, Catatan Lintas Budaya dari Negeri Tirai Bambu
Penulis : Ali Romdhoni
Cetakan : November 2019
Penerbit : buku Mojok
Tebal : xvi +200 halaman, 14x20 cm
ISBN : 987-623-91089-4-6
China menjadi negara yang pernah disebutkan Rasulullah SAW yang berkaitan dengan ilmu. Uthlub al-ilma walau bi as-shin, tuntutlah ilmu walau sampai ke-negeri China. Ali Romdhoni melakukan hal yang disabkan Rasulullah tersebut. Ali menoba merekam dan menajamkan indranya pada semua peristiwa yang dilaluinya sebagai satu pelajaran, hikmah. Ali melihat China sebagai objek pembelajaran berharga yang digalinya lalu dituangkan dalam buku ini.
Kurma di Ladang Salju ini merupakan kumpulan catatan Ali Romdhoni semasa ia menempuh studi di Universitas Heilongjiang di Harbin, China. Ali membagi catatan-catatannya menjadi 5 bagian pembahasan. Bahasa dan Budaya, Pendidikan, Pengalaman Beragama, Politik-Kebangsaan, Cerita Kemanusiaan dan Gejala Sosial. Tiap bagian pembahasan, Ali menceritakan pengalaman menarik yang dilaluinya untuk dipetik pelajaran bagi para pembaca. Seperti pada Catatan Pertama, bahasa Mandarin yang menjadi bahasa nasional China dibahas tentang betapa rumit dan banyaknya jumlah huruf asli Han zi, bahkan mencapai ribuan. Hal ini dikaitkan dengan mental pembelajar orang-orang China yang memiliki etos tinggi dan terbiasa dengan pekerjaan yang rumit-rumit. Dimana orang-orang china sejak dini sudah diajarkan membaca hal-hal rumit, untuk dibawa sebagai bekal di usia dewasa.
Persoalaan tentang Agama di China yang pahami oleh kebanyakan orang. Banyak yang beranggapan bahwa China memiliki penduduk yang mayoritas atheis (tidak beragama). Namun, Ali mencoba memahami pandangan ini dengan pendekatan budaya. Pandangan orang-orang China tentang agama sebenarnya bukan hal yang tabu. Karena menurut temuan-temuan Ali dilapangan, sebenarnya masyarakt China tetap menganut satu kepercayaan, namun bukan agama yang populer di dunia. mereka menganut kepercayaan leluhur. Mereka tetap memiliki aturan-aturan yang berujung pada tujuan keselarasan hidup. Mereka juga menjauhi tindakan-tindakan yang tidak baik. Jika berkaca pada negara Indoensia, maka hal semacam ini adalah hal yang wajar dan tidak bisa dikatakan sebagai atheis. Karena kepecayaan-kepercayan jawa seperti kejawen, kapitayan yang dulu menjadi kepercayaan orang-orang jawa, Aluk Todolo yang merupakan aturan hidup sejumlah masyarakat Toraja dan sebagainya, mereka tetap diakui sebagai orang beragama, bukan atheis. Inilah yang dilihat oleh Ali Romdhoni tentang pemahaman kepercayaan yang ada di China.
Catatan Kedua buku ini menjelaskan tentang konsep pendidikan yang Ali Romdhoni temukan di sekolah, terutama di sekolah putranya. Hampir sama dengan Indonesia, Di China juga sangat menghargai jasa para leluhurnya. Mereka juga menjadi korban jajahan di masa kolonialisme. Di sekolahan putra Ali Romdhoni para siswa ditanamkan jiwa nasionalis-historis dengan salah satu kegiatannya yaitu berziarah ke Taman Makam Pahlawan China, di Harbin, China. Kegiatan ini disambung dengan perjalanan ke museum perjuangan. Kegiatan ini semacam kegiatan study tour yang biasa diadakan sekolah-sekolah Indonesia. kesamaan ini dilandasi adanya rasa penghormatan pada para pahlawan dan para leluhur bangsa. Budaya serta perjuangan leluhur dikenang hingga masa mendatang.
Catatan ketiga tentang pengalaman Beragama di Harbin China. Pengalaman beragama bagi seorang Muslim Indonesia di negeri Tirai Bambu yang memiliki jumlah Muslim minoritas, serta menjadi negara dengan 4 musim. Ali bagai melihat bagaimana barisan (kurma) yang tertanam di yang tertanam (di Ladang Salju). China yang sebelumnya dilihat sebagau negara yang kontra muslim, bahkan dianggap atheis, ketika Ali Romdhoni melihat secara langsung nyatanya Islam di Negara itu tetap beridiri kokoh. Masjid yang cukup megah, Lestoran halal, hingga komunitas muslim turut mewarnai negara ini. Mereka hidup rukun di Harbin, sesuai dengan pandangan Ali. Bahkan NU juga membentuk PCI NU Tiongkok sebagai bentuk gagasan persaudaraan Muslim Indonesia-China. Dalam bab ini akan menarik dibaca dan menemukan bagaimana keberIslaman di China.
Bab selanjutnya, Ali Romdhoni menoba menarik korelasi antara Nasionalisme di China dan di Indonesia. Dimuali dengan cerita awal mula Ali Romdhoni memilih mengambil Gelar sarjana di China, bukan di Indonesia saja. Padahal pada saat itu, isu penindasan Muslim china sedang mencuat. Dilanjutkan dengan esai yang menceritakan pengalaman di dalam kelas Universitas yang diisi oleh mahasiswa dari penjuru dunia. dimana mereka dipertemukan dengan mahasiswa dari negara-negara kolonial maupun negara bekas jajahan. Penulis juga tidak mau melewatkan bagaimana perjalanan toleransi agama di Indonesia dengan agama asal Tiongkok, agama Konghucu.
Bab terakhir buku ini, penulis melanjutkan catatan-catatan yang belum termuat pada bab diatas. Ali menulis catatan-catatan kecil seorang warga Indonesia yang tinggal dan bermasyarakat di China.
Buku Kurma di Ladang Salju kurang cocok jika dijadikan sumber rujukan kuat, karena rata-rata catatan yang tersaji merupakan catatan yang ditulis atas sudut pandang penulis sendiri. Beberapa point tulisan juga tidak menyetkan sumber utama sebagai petunjuk bagi pembaca akademisi. Namun begitu, saya sangat merekomendasikan buku ini. Bagi seseorang yang ingin mendapatkan bacaan ringan, sambil nyantai, minum kopi, buku Ali Romdhoni, Kurma di Ladang Salju cocok untuk menemani. Walau tanpa sumber rujukan utama, namun setiap catatan yang ia tulis tetap menanamkan bobot pengetahuan dan dikemas dengan bahasa yang ringan. Buku yang dapat dibaca seperdudukan ini cocok untuk kalangan masyarakat umum.
Resensator : M. Salafudin a.
Posting Komentar